Purnama Dibalik Cadar
Aku seperti
melihat cahaya di balik cadar. Cahaya yang begitu kuat, menembus kain hijau
lumut penutup wajah gadis semampai itu. Karena kuatnya, kadang-kadang cahaya
itu menelan cadar sang gadis dan menyembullah bulatan bercahaya benderang bagai
purnama menyelubungi kepalanya.
Hari itu, gadis
bercadar tersebut berada di tengah diskusi tentang emansipasi wanita di Ibnu
Sina Auditorium, Universitas Al Azhar, Kairo. Sejak memasuki ruang diskusi, ia
sudah memancarkan pesona tersendiri. Ia tampak tinggi semampai, jauh lebih
tinggi dari rombongan gadis-gadis berjilbab yang masuk bersamanya. Cara
jalannya juga gemulai, dengan sepatu berhak tinggi yang kadang-kadang menyembul
di bawah jubah hijaunya.
''Dia Salma
Audina, dari Bandung,'' kata kawan di sebelahku, seorang mahasiswa Al Azhar,
tahu aku memperhatikan gadis itu.
''Apa dia aktifis Ihwanul Muslimin, Darul Arqam, Mujahidin, atau kelompok garis keras lain,'' tanyaku.
''Kabarnya memang aktifis, tapi tidak jelas dari kelompok mana. Dia kuliah S-2 di filsafat Al Azhar. Baru sebulan di sini.''
''Tapi kenapa pakai cadar? Anak-anak filsafat biasanya liberal.''
''Aku pernah tanyakan itu padanya. Dia bilang, itu cara dia melindungi dirinya dari tatapan mata lapar laki-laki.''
''Apa dia aktifis Ihwanul Muslimin, Darul Arqam, Mujahidin, atau kelompok garis keras lain,'' tanyaku.
''Kabarnya memang aktifis, tapi tidak jelas dari kelompok mana. Dia kuliah S-2 di filsafat Al Azhar. Baru sebulan di sini.''
''Tapi kenapa pakai cadar? Anak-anak filsafat biasanya liberal.''
''Aku pernah tanyakan itu padanya. Dia bilang, itu cara dia melindungi dirinya dari tatapan mata lapar laki-laki.''
Melihat matanya
yang mempesona, dengan bulu-bulu mata yang lentik, kubayangkan wajah gadis itu
sangat cantik. Tapi, bagaimana jika bibirnya sumbing, atau pipinya bertembong?
Ah, apa peduliku. Aku memang sedang mencari calon istri, karena sudah terlalu
lama membujang. Kuliah pasca-sarjanaku sudah selesai, dan gajiku sebagai kabag
pendidikan KBRI sudah cukup untuk hidup berumah tangga di Kairo. Tapi, mengapa
aku mesti repot menebak-nebak wajah di balik cadar itu? Mahasiswi Indonesia
yang cantik, dan tidak bercadar, cukup banyak di Kairo.
Ketika aku masih
sibuk dengan pikiranku sendiri, tiba-tiba nama Salma disebut oleh moderator
sebagai salah seorang penanya yang dipersilakan maju ke depan. Benar, gadis
bercadar itu dengan cekatan berdiri dan melangkah ke depan. Dan, masya
Allah , suaranya merdu sekali, tapi tetap tangkas menyusun
pemikiran-pemikirannya dalam kalimat-kalimat yang jelas. Dan, ternyata
pemikiran-pemikirannya sangat liberal, khas anak filsafat. Ia gugat sistem
poligami, yang secara abadi menempatkan perempuan sebagai pelengkap laki-laki.
Ia gugat kultur Islam yang masih menempatkan laki-laki sebagai pusat kekuasaan.
Ia sebut contoh-contoh kaum perempuan yang menjadi korban laki-laki. Ia sebut Perempuan
di Titik Nol Nawal El Sadawi, ia sebut Kartini, ia sebut pula Rabiah al
Adawiyah yang tak sudi dijajah laki-laki dan lebih memilih menyerahkan seluruh
cintanya pada Tuhan.
No comments:
Post a Comment